MENYESUAIKAN PIKIRAN DENGAN FIRMAN ALLAH Sembilan bulan setelah keponakan kami lahir (4 April 1999), namanya Foril Sinaulan, di Manado mengamuk wabah demam berdarah (sekitar bulan Januari dan Februari tahun 2000). Rumah sakit umum Prof. Kandou di Malalayang Manado dipenuhi dengan pasien yang terkena wabah, sampai ke lorong-lorong ruangan di RS. Setiap hari ada saja pasien yang meninggal. Ayah saya memberitahu agar kami menjenguk ke RS. Dari Tondano kami menuju ke RS. Sampai di RS ayah saya sudah berdiri di luar ruangan. Tidak lagi mau masuk ke ruangan. Ayah marah kepada saya dan istri yang baru sampai sementara keponakan sudah di rawat sekitar tiga hari. Sambil terbata-bata karena terharu, ayah berkata "biarjo dia pe papa sampe dulu dari Papua". Artinya, biar saja anak itu kalaupun harus meninggal, yang penting ayahnya, yang bekerja di Free Port Papua...
AWAL YANG SANGAT PENTING Sebagai seorang dosen muda, waktu itu baru berusia 26 tahun, baru saja 3 tahun menikah dan punya seorang anak, namanya Septiany Christine (sekarang, bersama suaminya Farly Tumimomor, sudah menjadi dosen di Jurusan Kimia dan Jurusan Fisika FMIPA Unima), waktu itu tahun 1990, saya mempunyai kerinduan yang besar untuk melanjutkan studi ke jenjang S2. Tuhan memperkenankan saya bersama istri, dan anak saya untuk mendapatkan kesempatan studi lanjut di IPB Bogor. Kami memulai proses studi S2 sekitar bulan September 1990. Waktu itu di Asrama Sempur dan Bogor Baru kota Bogor, ada peraturan Pemda Sulut bahwa yang sudah berkeluarga tidak lagi diperkenankan untuk tinggal di Asrama, dan memang waktu itu Asrama lagi penuh dengan teman-teman yang sudah sedang kuliah. Jadi kami beserta dua orang teman sepakat untuk mengontrak rumah. Jadilah kami tinggal di rumah kontrakan dan mem...
ROH KUDUS MEMBERI HIDUP PADA TUBUH YANG FANA Setelah selesai studi S2, di tahun 1993, kami langsung pulang Manado. Dan masih tinggal bersama orang tua secara bergantian, yaitu di Manado dan Tondano. Pada awal tahun 1994, oleh berkat Tuhan kami dapat membeli satu unit rumah panggung (jenis rumah Adat Minahasa), dan dibangun di bidang tanah yang sudah kami beli sejak masih di Bogor pada tahun 1991. Tanah tersebut terletak di Keluarahan Tataaran Patar. Walaupun masih sangat terbatas, saya memutuskan untuk segera tinggal di rumah tersebut. Saya masih ingat waktu itu tanggal 2 Agustus 1994. Sekitar dua hari kemudia, saya mengajak istri untuk segera tinggal di rumah kami. Kami mulai menempat rumah itu, sambil mebenahi bangunnnya tahap demi tahap. Setelah kurang lebih 2 tahun tinggal di rumah kami, kami diberikan pelajaran penting ol...
Comments
Post a Comment